
Komitmen para akademisi dan praktisi kesehatan terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat seringkali terjebak dalam ruang-ruang diskusi akademik yang elitis.
Kita dengan serius membedah data, menulis artikel ilmiah, merancang intervensi berbasis bukti, hingga menyusun program kesehatan yang tampak ideal di atas kertas. Namun, realitas di lapangan sering berkata lain: anggaran terbatas, kebijakan tidak berpihak, kepentingan industri lebih kuat, dan keputusan politik justru mendikte arah pembangunan kesehatan. Di titik inilah kita harus jujur mengakui satu hal mendasar yang selama ini sering kita abaikan: kesehatan adalah urusan politik.
Kesadaran bahwa kesehatan tidak berdiri sendiri sebenarnya bukanlah hal baru. Pada tahun 1986, para pemimpin dunia di bidang kesehatan berkumpul di Ottawa, Kanada, dan melahirkan sebuah deklarasi monumental yang dikenal sebagai Ottawa Charter for Health Promotion. Piagam ini menjadi tonggak sejarah yang merevolusi cara kita memandang kesehatan. Di dalamnya ditegaskan bahwa kesehatan tidak hanya ditentukan oleh faktor biologis atau akses layanan medis, melainkan juga oleh determinan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, bahkan politik. Dengan kata lain, kesehatan tidak bisa dipisahkan dari struktur kekuasaan dan distribusi sumber daya dalam masyarakat. Namun ironisnya, lebih dari tiga dekade setelah deklarasi itu lahir, semangat revolusioner Ottawa Charter masih belum benar-benar menjiwai praktik kesehatan publik di banyak negara, termasuk Indonesia. Kita, para akademisi dan praktisi, masih sering menjauh dari dunia politik, seolah urusan kesehatan bisa dibenahi tanpa menyentuh arena kekuasaan.
Padahal, politik adalah mesin yang menentukan arah pembangunan. Politiklah yang memutuskan berapa besar anggaran kesehatan, bagaimana regulasi industri rokok dijalankan, apakah kota membangun ruang terbuka hijau, seberapa jauh jaminan kesehatan melindungi masyarakat, atau apakah vaksin bisa tersedia untuk semua orang. Dengan kata lain, politik adalah instrumen paling strategis untuk menentukan apakah rakyat sehat atau sakit, apakah hidup lebih panjang atau pendek, apakah kualitas hidup membaik atau justru stagnan. Mengabaikan politik sama saja dengan menyerahkan masa depan kesehatan masyarakat kepada mereka yang barangkali tidak pernah membaca data epidemiologi atau tidak peduli pada determinan kesehatan.
Ottawa Charter sendiri jelas menempatkan politik sebagai arena perjuangan kesehatan. Dari lima area aksi yang diperkenalkan, dua di antaranya sangat tegas mengarahkan kita untuk masuk ke ranah politik. Pertama, membangun kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Build Healthy Public Policy). Prinsip ini menegaskan bahwa setiap kebijakan di semua sektor harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan. Tidak cukup hanya memiliki “kebijakan kesehatan” di Kementerian Kesehatan, tetapi setiap kementerian, mulai dari perhubungan, keuangan, pendidikan, sampai perindustrian, harus mengintegrasikan aspek kesehatan ke dalam kebijakan mereka. Transportasi yang ramah pejalan kaki, pajak atas produk berisiko tinggi seperti rokok dan minuman berpemanis, kurikulum pendidikan yang mendorong literasi kesehatan sejak dini semuanya adalah contoh nyata bagaimana kesehatan hanya bisa diperjuangkan melalui jalur politik lintas sektor.
Kedua, strategi advokasi, mediasi, dan enabling yang menjadi jantung Ottawa Charter tidak bisa dilepaskan dari arena politik. Kita punya data, bukti ilmiah, dan pemahaman mendalam tentang masalah kesehatan. Tetapi data tidak akan berubah menjadi kebijakan tanpa ada tekanan politik. Di sinilah advokasi diperlukan. Akademisi dan praktisi harus berani masuk ke ruang parlemen, berdialog dengan kepala daerah, melobi kementerian terkait, dan mengusulkan regulasi berbasis bukti. Di saat yang sama, kita juga harus berperan sebagai mediator di tengah benturan kepentingan. Misalnya, industri rokok tentu akan melawan regulasi ketat, sementara masyarakat menuntut lingkungan sehat. Peran kita adalah menjembatani dengan argumentasi rasional, bukti ilmiah, dan keberpihakan pada kesehatan publik. Dan terakhir, kita harus mendorong enabling, yakni memungkinkan masyarakat berdaya atas kesehatan mereka sendiri, yang tentu saja memerlukan dukungan politik berupa kebijakan yang memberi ruang partisipasi publik.
Sayangnya, banyak akademisi dan praktisi kesehatan masih menolak masuk ke arena ini. Alasan yang sering muncul adalah politik itu kotor, penuh kompromi, dan tidak sejalan dengan idealisme. Pandangan ini bisa dimengerti, tetapi sekaligus naif. Justru dengan menjauh, kita membiarkan arena politik diisi oleh mereka yang kepentingannya bertabrakan dengan kesehatan. Politik, bagaimanapun, adalah instrumen netral ia bisa digunakan untuk menyehatkan atau merusak. Ketika kita absen, kekosongan itu dengan cepat diisi oleh industri besar, kepentingan jangka pendek, atau logika elektoral yang sering tidak sejalan dengan kepentingan kesehatan publik. Dengan kata lain, sikap apolitis justru adalah bentuk kealpaan moral.
Perjuangan politik di bidang kesehatan juga tidak selalu identik dengan praktik-praktik kotor. Politik kesehatan bisa dilakukan dengan cara yang konstruktif dan terhormat. Membekali calon legislatif atau kepala daerah dengan data kesehatan yang akurat, menyusun visi-misi kesehatan yang realistis untuk kampanye politik, mendorong agar isu kesehatan masuk dalam debat publik, atau mendesak partai politik untuk punya agenda kesehatan yang jelas semua ini adalah strategi politik yang sehat. Bahkan langkah sederhana seperti mengajak jurnalis mengangkat isu kesehatan ke headline berita adalah bentuk intervensi politik, karena media adalah salah satu arena pertarungan wacana yang menentukan arah kebijakan.
Kita bisa belajar dari banyak contoh konkret. Kebijakan cukai rokok yang diperjuangkan bertahun-tahun akhirnya menjadi instrumen penting untuk menekan konsumsi. Perda Kawasan Tanpa Rokok di beberapa daerah berhasil mendorong perubahan perilaku masyarakat. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lahir bukan dari diskusi akademis semata, tetapi dari pertarungan politik panjang di parlemen dan ruang publik. Semua capaian itu menunjukkan bahwa ketika isu kesehatan masuk ke dalam arena politik, ia berpotensi melahirkan perubahan struktural yang lebih luas ketimbang intervensi program kecil yang berdampak terbatas.
Maka, membaca kembali Ottawa Charter hari ini adalah panggilan untuk meninjau ulang cara kita berjuang. Dunia sudah berubah. Determinan kesehatan semakin kompleks, mulai dari perubahan iklim, urbanisasi, krisis pangan, hingga disrupsi digital. Semua isu ini tidak bisa ditangani hanya dengan pendekatan medis atau intervensi komunitas. Ia membutuhkan kebijakan publik yang berani, lintas sektor, dan berpihak pada kesehatan. Dan semua itu hanya bisa lahir lewat keputusan politik. Artinya, semakin kita menjauh dari politik, semakin kita tidak relevan dalam perjuangan kesehatan.
Kita harus berhenti melihat Ottawa Charter sebagai dokumen sejarah yang hanya dibahas dalam kelas promosi kesehatan. Piagam itu adalah cetak biru yang masih relevan hingga kini. Ia memberi kita landasan untuk merangkul politik, bukan menghindarinya. Sudah saatnya akademisi dan praktisi kesehatan keluar dari zona nyaman diskusi ilmiah dan mengambil peran aktif dalam ruang-ruang pengambilan keputusan. Tidak harus dengan menjadi politisi, tetapi dengan memastikan suara kesehatan publik hadir dalam setiap proses politik. Karena pada akhirnya, politik adalah soal siapa yang mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Dan kalau kita ingin kesehatan mendapat porsi yang layak, kita harus ikut serta dalam menentukan jawabannya.
Kesehatan bukan sekadar urusan medis, melainkan pertarungan politik. Mengabaikannya hanya akan membuat kita kalah sebelum bertarung. Dengan pengetahuan, data, dan kepakaran yang kita miliki, seharusnya kita justru menjadi aktor utama dalam memastikan politik berpihak pada kesehatan. Ottawa Charter sudah memberi cetak biru, sejarah memberi bukti, dan kenyataan hari ini memberi tantangan. Pertanyaannya sederhana: apakah kita berani mengambil peran politik demi kesehatan, atau tetap nyaman di balik tembok akademik sambil menyaksikan kesehatan publik dipinggirkan?