
Coba perhatikan berita kesehatan di televisi, koran, atau media online. Begitu isu stunting mencuat, pandemi merebak, atau defisit BPJS jadi topik hangat, yang muncul hampir selalu dokter spesialis, ekonom, atau bahkan sosiolog. Praktisi atau akademisi kesehatan masyarakat (Kesmas)? Hampir tidak pernah. Padahal kalau kita kembali ke bangku kuliah dulu, bukankah yang paling sering kita dengar adalah bahwa kesehatan ditentukan bukan hanya oleh rumah sakit atau obat-obatan, melainkan juga oleh faktor sosial, lingkungan, perilaku, bahkan kebijakan publik?
Fenomena ini bukan sekadar persoalan “siapa yang tampil di layar kaca.” Lebih dalam dari itu, ini adalah soal narasi kesehatan di ruang publik. Narasi itu kini dikuasai oleh sudut pandang medis dan klinis, sementara perspektif kesehatan masyarakat nyaris absen. Akibatnya, solusi yang ditawarkan sering kali sempit: lebih banyak dokter, lebih banyak obat, lebih banyak rumah sakit. Padahal model klasik Blum sudah mengingatkan sejak lama: derajat kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor besar—lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan genetik. Dari keempatnya, pelayanan kesehatan justru hanya menyumbang sebagian kecil. Lingkungan dan perilaku justru berperan dominan. Sayangnya, sudut pandang ini jarang sekali masuk ke wacana publik.
Kita tentu tidak menafikan peran dokter atau klinisi. Mereka memang penting dan vital. Namun, jika hanya suara mereka yang mendominasi, masalah kesehatan masyarakat akan terus dipahami secara parsial. Lihat saja isu stunting. Yang sering muncul di televisi adalah diskusi soal gizi individu, terapi medis, atau resep makanan tambahan. Padahal stunting tidak hanya soal asupan gizi. Ia erat kaitannya dengan akses air bersih, sanitasi, pendidikan ibu, kemiskinan, dan bahkan kebijakan anggaran desa. Tanpa membicarakan aspek ini, pembahasan stunting jadi seperti mengobati gejala, bukan akar masalahnya.
Lalu pertanyaan besar pun muncul: mengapa alumni, praktisi, dan akademisi kesehatan masyarakat jarang mengambil panggung? Kenapa suara kita minim terdengar, bahkan di daerah?
Ada beberapa penjelasan yang mungkin bisa kita renungkan. Pertama, faktor kultur akademik. Dunia kesehatan masyarakat sering terjebak dalam “comfort zone” akademis. Kita sibuk meneliti, menulis jurnal, atau berdiskusi di forum-forum ilmiah, tapi jarang menyeberang ke media arus utama. Ada semacam jarak psikologis: merasa bahwa bicara di media itu tugasnya tokoh politik, dokter, atau pakar yang sudah “mapan.” Padahal justru dengan tampil di publik, ilmu yang kita miliki bisa menjangkau khalayak luas dan memengaruhi kebijakan.
Kedua, faktor citra profesi. Publik lebih mengenal dokter sebagai “otoritas kesehatan.” Gelar dokter membawa bobot simbolik yang tinggi di mata masyarakat maupun media. Sebaliknya, “kesehatan masyarakat” masih terdengar asing. Banyak orang awam bahkan mengira lulusan kesehatan masyarakat hanya bekerja di puskesmas, melakukan penyuluhan, atau survei lapangan. Padahal keahlian kita jauh melampaui itu: dari analisis kebijakan, manajemen program, epidemiologi, hingga advokasi berbasis bukti. Sayangnya, branding profesi kita belum kuat, sehingga media pun lebih memilih narasumber yang dianggap lebih familiar.
Ketiga, faktor keberanian. Harus diakui, tidak sedikit di antara kita yang ragu tampil di ruang publik. Ada kekhawatiran dianggap tidak cukup pakar, atau takut disalahkan jika pernyataan kita kontroversial. Akibatnya, kita lebih memilih diam, sementara isu-isu kesehatan direbut oleh mereka yang lebih percaya diri meski perspektifnya terbatas. Padahal kesehatan masyarakat justru membutuhkan suara lantang yang bisa mengingatkan bahwa solusi tidak bisa berhenti di meja klinik, melainkan harus meluas ke kebijakan, perilaku, dan struktur sosial.
Di sinilah urgensi keterlibatan kesehatan masyarakat di ruang publik menjadi nyata. Kita memiliki modal besar yang sebenarnya unik. Pertama, kerangka teori yang komprehensif. Selain Blum, kita punya teori determinan sosial kesehatan yang menekankan pentingnya faktor sosial-ekonomi: pendidikan, pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan lain-lain. Kedua, kita punya data dan metode analisis yang berbasis bukti. Epidemiologi, misalnya, memberi kita kemampuan untuk membaca pola, tren, dan risiko kesehatan populasi. Ketiga, kita punya orientasi preventif dan promotif yang sangat relevan di tengah beban sistem kesehatan yang semakin berat.
Namun modal ini tidak akan berarti jika kita hanya menyimpannya di ruang seminar. Bayangkan jika dalam isu stunting, selain dokter anak, muncul juga ahli kesehatan masyarakat yang menjelaskan bahwa penyediaan air bersih dan sanitasi yang layak bisa menurunkan stunting hingga 40 persen. Atau dalam isu rokok, selain ekonom dan dokter paru, tampil akademisi kesehatan masyarakat yang berani mengungkap bagaimana pajak cukai tembakau bisa menjadi instrumen efektif menurunkan prevalensi merokok sekaligus meningkatkan pendapatan negara. Narasi publik akan jauh lebih utuh, dan kebijakan yang lahir pun lebih komprehensif.
Persoalannya, bagaimana caranya mendorong lebih banyak suara kesehatan masyarakat ke ruang publik? Pertama-tama, kita perlu mengubah mindset di kalangan kita sendiri. Berbicara di media bukanlah sekadar tampil gaya atau mencari popularitas. Itu adalah bagian dari tanggung jawab profesional: menyampaikan pengetahuan kepada publik agar kebijakan yang lahir berpihak pada kesehatan masyarakat. Di era demokrasi dan keterbukaan informasi, menguasai panggung opini sama pentingnya dengan menguasai panggung akademik.
Kedua, institusi pendidikan dan organisasi profesi harus lebih proaktif. Fakultas kesehatan masyarakat bisa membekali mahasiswanya dengan keterampilan komunikasi publik: menulis opini di media, berbicara di televisi, atau menyusun narasi kebijakan yang mudah dipahami publik. Organisasi profesi, seperti Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat, juga bisa lebih sering memfasilitasi anggotanya untuk tampil di media dengan membangun jejaring dengan redaksi media. Dengan begitu, saat isu kesehatan muncul, media tidak hanya menghubungi dokter, tapi juga siap menghubungi ahli kesehatan masyarakat.
Ketiga, individu juga harus berani memulai. Tidak perlu menunggu jadi profesor atau pejabat. Alumni muda pun bisa menulis opini di media lokal, tampil di radio daerah, atau sekadar aktif menyuarakan perspektif kesehatan masyarakat di media sosial. Ruang publik kini tidak hanya koran dan televisi. Twitter, Instagram, hingga TikTok bisa jadi medium efektif untuk mengedukasi masyarakat sekaligus memperkuat branding profesi.
Kita juga perlu belajar dari profesi lain. Sosiolog, misalnya, cukup sering hadir di media untuk membicarakan isu sosial, bahkan kadang juga menyinggung isu kesehatan. Mereka tidak ragu menafsirkan fenomena dari sudut pandang mereka. Mengapa kita yang memang dibekali ilmu khusus kesehatan masyarakat justru jarang bersuara? Apakah kita terlalu terikat pada bahasa akademik yang kaku, atau terlalu takut salah bicara?
Padahal, jika kita jujur, diamnya kita justru punya konsekuensi serius. Dengan tidak hadir di ruang publik, kita membiarkan kebijakan kesehatan dirumuskan tanpa perspektif populasi, tanpa analisis determinan sosial, tanpa keberpihakan pada preventif-promotif. Akibatnya, anggaran kesehatan masih berat ke kuratif, isu