Iklim Rusak, Perempuan Lagi-Lagi Jadi Korban: Krisis Iklim dan Kesehatan Menstruasidi Pulau Pari
Siti Naziyati Nur Haliza (Alumni S1 Kesehatan Masyarakat FKM UI 2020)
Air laut yang naik hingga betis sudah menjadi pengalaman biasa di Pulau Pari, salah satu pulau kecil di Kepulauan Seribu. Bagi warga, perabotan yang rusak, pakaian yang basah, hingga rumah yang lembap adalah keseharian yang harus ditelan. Tapi dampaknya bukan sekadar soal kenyamanan, bagi perempuan, banjir rob juga merampas kesehatan bahkan martabat mereka.
Setiap bulan, perempuan harus menghadapi menstruasi dalam kondisi tanpa air bersih yang layak dan fasilitas yang memadai. Di Pulau Pari, krisis iklim memperburuk tantangan ini, membuat hal yang seharusnya alami berubah menjadi siksaan.
Ketika Laut Merembes ke Sumur
Tahun 2020, banjir rob menenggelamkan 11% wilayah Pulau Pari. Air asin merembes masuk ke sumur-sumur warga yang menjadi sumber utama untuk mandi, memasak, dan mencuci. Air yang tadinya jernih berubah payau, membuat kulit terasa gatal, lengket, bahkan kering. Sebagian warga terpaksa mengandalkan air hujan yang ditampung, atau membeli air galon dengan harga yang memberatkan kantong. Seorang ibu bercerita:
“Kalau pakai air asin rasanya gatal, lengket, kagak nyaman. Tapi mau gimana lagi? Air galon juga mahal kalau tiap hari harus beli.”
Dalam kondisi seperti ini, sesuatu yang seharusnya alami yaitu menstruasi berubah menjadi pengalaman yang penuh risiko, seakan tubuh perempuan sedang dipupuk untuk sakit di kemudian hari.
Mitos Menjadi Keyakinan karena Minim Pengetahuan
Banyak perempuan di Pulau Pari masih memahami menstruasi sebatas “darah kotor.” Minimnya edukasi membuat mitos lebih dipercaya ketimbang fakta. Bahkan ada seorang ibu yang mengajarkan pada anaknya bahwa ketika menstruasi tidak boleh untuk tidur siang karena dapat menyebabkan kebutaan. Selain itu, pengetahuan mengenai pengelolaan sampah pembalut juga masih sangat minim ada yang membuang pembalut ke laut, dan ketika banjir datang, limbah itu justru kembali ke rumah-rumah mereka. Ketiadaan informasi yang benar serta fasilitas pengelolaan limbah yang memadai menjadikan perempuan rentan, sekaligus menambah ancaman bagi ekosistem laut.
Dampak kesehatan makin nyata. Keluhan gatal, keputihan, iritasi, hingga siklus haid yang berantakan karena stres semakin sering terdengar. Layanan kesehatan reproduksi sendiri sangat jarang, hanya datang sesekali melalui program kampus atau lembaga luar.
Pemerintah hampir tak terlihat kontribusinya, selain baliho-baliho yang menampilkan awajah dan nomor-nomor sakral mereka di tembok-tembok warga. Krisis iklim dan kesehatan menstruasi seolah dianggap dua hal yang tidak berkaitan, padahal keduanya saling mengunci dalam kehidupan perempuan pesisir.
Krisis Iklim yang Berwajah Perempuan
Ketika dunia membicarakan krisis iklim, fokusnya sering pada kota yang tenggelam atau pulau yang hilang. Tapi di Pulau Pari, krisis iklim juga berarti perempuan yang harus berjuang menjaga tubuhnya tetap sehat setiap bulan.Mengelola menstruasi dengan aman dan bermartabat seharusnya adalah hak dasar. Kini, hak itu semakin sulit dipenuhi.
Bagi perempuan Pulau Pari, naiknya permukaan laut bukan hanya bencana lingkungan. Ia adalah pengingat bulanan bahwa tubuh, kesehatan, dan martabat mereka terus dipertaruhkan.