Vol 1 (2)

Iklim Rusak, Perempuan Lagi-Lagi Jadi Korban: Krisis Iklim dan Kesehatan Menstruasidi Pulau Pari

Cuplikan layar 2025 10 13 085418

Air laut yang naik hingga betis sudah menjadi pengalaman biasa di Pulau Pari, salah satu pulau
kecil di Kepulauan Seribu. Bagi warga, perabotan yang rusak, pakaian yang basah, hingga rumah
yang lembap adalah keseharian yang harus ditelan. Tapi dampaknya bukan sekadar soal
kenyamanan, bagi perempuan, banjir rob juga merampas kesehatan bahkan martabat mereka.

Setiap bulan, perempuan harus menghadapi menstruasi dalam kondisi tanpa air bersih yang layak
dan fasilitas yang memadai. Di Pulau Pari, krisis iklim memperburuk tantangan ini, membuat hal
yang seharusnya alami berubah menjadi siksaan.

Ketika Laut Merembes ke Sumur


Tahun 2020, banjir rob menenggelamkan 11% wilayah Pulau Pari. Air asin merembes masuk ke
sumur-sumur warga yang menjadi sumber utama untuk mandi, memasak, dan mencuci. Air yang
tadinya jernih berubah payau, membuat kulit terasa gatal, lengket, bahkan kering.
Sebagian warga terpaksa mengandalkan air hujan yang ditampung, atau membeli air galon
dengan harga yang memberatkan kantong.
Seorang ibu bercerita:


“Kalau pakai air asin rasanya gatal, lengket, kagak nyaman. Tapi mau gimana lagi? Air galon
juga mahal kalau tiap hari harus beli.”


Dalam kondisi seperti ini, sesuatu yang seharusnya alami yaitu menstruasi berubah menjadi
pengalaman yang penuh risiko, seakan tubuh perempuan sedang dipupuk untuk sakit di
kemudian hari.

Mitos Menjadi Keyakinan karena Minim Pengetahuan


Banyak perempuan di Pulau Pari masih memahami menstruasi sebatas “darah kotor.” Minimnya
edukasi membuat mitos lebih dipercaya ketimbang fakta. Bahkan ada seorang ibu yang
mengajarkan pada anaknya bahwa ketika menstruasi tidak boleh untuk tidur siang karena dapat
menyebabkan kebutaan. Selain itu, pengetahuan mengenai pengelolaan sampah pembalut juga
masih sangat minim ada yang membuang pembalut ke laut, dan ketika banjir datang, limbah itu
justru kembali ke rumah-rumah mereka. Ketiadaan informasi yang benar serta fasilitas
pengelolaan limbah yang memadai menjadikan perempuan rentan, sekaligus menambah ancaman
bagi ekosistem laut.

Dampak kesehatan makin nyata. Keluhan gatal, keputihan, iritasi, hingga siklus haid yang
berantakan karena stres semakin sering terdengar. Layanan kesehatan reproduksi sendiri sangat
jarang, hanya datang sesekali melalui program kampus atau lembaga luar.

Pemerintah hampir tak terlihat kontribusinya, selain baliho-baliho yang menampilkan awajah
dan nomor-nomor sakral mereka di tembok-tembok warga. Krisis iklim dan kesehatan
menstruasi seolah dianggap dua hal yang tidak berkaitan, padahal keduanya saling mengunci
dalam kehidupan perempuan pesisir.


Krisis Iklim yang Berwajah Perempuan


Ketika dunia membicarakan krisis iklim, fokusnya sering pada kota yang tenggelam atau pulau
yang hilang. Tapi di Pulau Pari, krisis iklim juga berarti perempuan yang harus berjuang menjaga
tubuhnya tetap sehat setiap bulan.Mengelola menstruasi dengan aman dan bermartabat
seharusnya adalah hak dasar. Kini, hak itu semakin sulit dipenuhi.

Bagi perempuan Pulau Pari, naiknya permukaan laut bukan hanya bencana lingkungan. Ia adalah
pengingat bulanan bahwa tubuh, kesehatan, dan martabat mereka terus dipertaruhkan.

Share now

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email