Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari niat yang benar: menjawab masalah gizi anak dan mencegah stunting demi investasi manusia jangka panjang.
Namun ambisi itu dibayangi oleh kesenjangan tajam antara desain kebijakan dan realitas implementasi.
Ketika negara menggelontorkan anggaran sebesar Rp71 triliun, publik berhak menuntut bukti bahwa setiap rupiah mengarah pada perbaikan parameter gizi yang relevan — bukan pada proyek besar yang hanya menambal gejala superfisial.
Pertama-tama, masalah keamanan pangan yang muncul dalam beberapa bulan pelaksanaannya merupakan kegagalan sistemik, bukan sekadar insiden terisolasi. Laporan BPOM tentang 17 kejadian luar biasa keracunan MBG di 10 provinsi, serta temuan Dinas Kesehatan DKI yang mencatat puluhan siswa terpapar kontaminasi, menunjukkan ada celah pada rantai suplai: dari pemilihan bahan baku, proses pengolahan, penyimpanan hingga distribusi. Ketidakmampuan menjaga standar higienis dan suhu penyimpanan menjadikan upaya pencegahan stunting berisiko menciptakan masalah kesehatan baru.
Dalam perspektif teknokratik, kegagalan ini menandakan lemahnya manajemen risiko dan ketiadaan standar minimum yang tegas serta mekanisme penegakan yang efektif.
Kualitas gizi menu MBG menjadi titik kritis kedua. Pencegahan stunting efektif membutuhkan intervensi pada kebutuhan protein hewani dan mikronutrien terutama selama 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Memberikan nasi kotak kepada anak sekolah yang sudah melewati fase sensitif pertumbuhan tidak akan mengubah kurva tinggi badan atau dampak kognitif dari stunting yang telah terjadi.
Dengan demikian, desain MBG yang berfokus pada konsumsi di sekolah dasar berisiko menjadi program simbolik — membantu mengenyangkan perut hari itu, tetapi gagal mengubah determinan biologis jangka panjang. Masalah ketiga adalah tata kelola dan transparansi.
Skala anggaran yang besar memperbesar risiko inefisiensi dan penyalahgunaan jika proses pengadaan vendor tidak terbuka dan audit mutu tidak rutin.
Laporan Ombudsman yang menyoroti potensi maladministrasi memperkuat dugaan bahwa kelemahan tata kelola menjadi akar masalah. Tanpa mekanisme tender yang transparan, audit independen, dan publikasi hasil audit mutu serta keuangan, kepercayaan publik akan terkikis dan efektivitas program sulit diukur.Dari sisi prioritas penganggaran, Rp71 triliun merupakan kesempatan untuk mengoptimalkan kombinasi intervensi yang lebih cost-effective. Pendekatan yang lebih rasional adalah menggeser sebagian sumber daya ke intervensi berbasis HPK — misalnya program gizi untuk ibu hamil, dukungan MPASI berkualitas, pemberian voucher protein lokal (telur, ikan), serta penguatan layanan posyandu dan puskesmas.
Selain itu, investasi infrastruktur sanitasi (air bersih dan sanitasi dasar) serta program edukasi gizi keluarga memberikan efek multiplikatif yang kuat terhadap penurunan stunting, dan seharusnya menjadi komponen wajib dalam paket kebijakan pencegahan.Secara operasional, ada empat koreksi teknis yang harus segera menjadi standar minimal jika MBG ingin tetap berjalan: (1) integrasi administratif dan program dengan intervensi 1.000 HPK sehingga sasaran dan alokasi anggaran mencerminkan fase kehidupan yang paling determinan; (2) penerapan standar keamanan pangan berbasis HACCP untuk semua vendor dan fasilitas pengolahan, dengan sertifikasi wajib; (3) mekanisme pengadaan terbuka, audit mutu dan finansial berkala oleh lembaga independen, serta publikasi hasilnya untuk menjamin akuntabilitas; dan (4) skema monitoring berbasis data—misalnya surveilans insiden keracunan, indikator gizi terpilih dan evaluasi dampak berkala yang dipublikasikan secara transparan.Rekomendasi ini bukan sekadar idealisme administratif; mereka adalah prasyarat agar investasi besar ini tidak sia-sia.
Mengalokasikan anggaran tanpa korelasi jelas terhadap outcome gizi yang terukur adalah praktik fiskal yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah perlu menunjukkan rencana koreksi yang konkret: realokasi anggaran ke intervensi prioritas HPK, alokasi untuk infrastruktur WASH di komunitas rawan, dan pendanaan untuk kapasitas pengawasan BPOM dan dinas kesehatan daerah.Akhirnya, narasi politis tentang “makanan gratis” harus ditukar dengan narasi teknis tentang “ketahanan gizi berbasis bukti”.
Anak Indonesia tidak membutuhkan sekadar paket makan sehari-hari; mereka membutuhkan intervensi terintegrasi yang dimulai sejak kandungan, didukung sanitasi layak, dan didampingi edukasi keluarga.
Jika MBG dapat direformasi untuk mendukung rantai intervensi ini—bukan berdiri sendiri—maka program tersebut masih bisa berkontribusi. Kalau tidak, sejarah akan mencatatnya sebagai proyek populis mahal yang gagal menyentuh akar masalah stunting. Prioritaskan bukti, strukturkan pelaksanaan, dan audit setiap outcome: itu satu-satunya jalan agar uang publik menghasilkan anak-anak yang lebih sehat dan produktif.