
Setiap melihat peluncuran data di bidang kesehatan, kita selalu ditunjukkan satu hal yang sama: gambar grafik, dashboard, heatmap, dan angka-angka. Deretan angka tersebut tentu menjadi acuan para ahli untuk menyusun kebijakan yang seharusnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun, kita tak boleh lupa, di tengah gegap gempita angka capaian yang ditampilkan, kesehatan masyarakat kita justru berisiko kehilangan wajah manusianya.
Pemerintah seringkali menilai keberhasilan kesehatan dari grafik dan persentase, bukan dari perubahan riil yang terjadi di lapangan. Padahal, kesehatan masyarakat tidak hanya lahir dari angka dan data, melainkan dari konteks aktual – dari Puskesmas yang punya tenaga kesehatan yang cukup, dari lingkungan yang tercukupi pengetahuan dan pendidikan kesehatannya, dan dari individu-individu yang berhasil mengamalkan dimensi kesehatan masyarakat itu sendiri.
Sebagai contoh paling mudah dan paling “terkini”, mari bersama kita tilik program Makan Bergizi Gratis (MBG). Secara semangat dan gagasan, MBG memanglah program yang sangat patut diberikan apresiasi. Akses terhadap nutrisi dan layanan dasar memang masih menjadi tantangan di banyak wilayah di Indonesia, khususnya bagi mereka yang menjadi kelompok marjinal. Namun, di titik ini pula kita perlu berhati-hati: program yang baik bisa kehilangan maknanya ketika direduksi menjadi sekadar target capaian.
Laporan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mencatat bahwa terdapat 7.119 kasus keracunan MBG per 25 September 2025. Bagi kita yang menekuni bidang kesehatan masyarakat, jumlah tersebut tentu bukan hanya sekadar deretan angka-angka, tetapi masalah yang sungguh luar biasa. Sayangnya, angka dan data ini tidak dipandang sama oleh sebagian orang, ada yang menjadikannya sekadar pembanding saja. Program yang dibangun di atas logika “sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya” kerap gagal membaca akar masalah. Misalnya, stunting tidak hanya soal makanan bergizi, tapi juga soal air bersih, sanitasi, dan pola asuh. Pemeriksaan gratis pun tidak banyak berarti jika rujukan lanjutannya tidak tersedia atau biayanya tak terjangkau. Kesehatan tidak bisa diciptakan dari seremonial dan statistik; ia tumbuh dari sistem yang peduli dan berkelanjutan.
Maka, untuk membuat program kesehatan yang lebih jelas dampaknya, kita perlu menggeser fokus dari seberapa banyak menjadi seberapa bermakna. Artinya, keberhasilan tidak cukup diukur dari jumlah dapur, dari berapa porsi yang dibagikan, atau berapa banyak warga yang diperiksa, tetapi dari sejauh mana program seperti ini mampu memperkuat ekosistem kesehatan masyarakat secara nyata. MBG, misalnya, semestinya tidak berhenti pada kegiatan membagikan makan siang di sekolah dalam skala besar. Jika Pemerintah ingin program ini dapat memberikan dampak pada konteks lokal, program ini seharusnya dapat menjadi pintu masuk untuk membangun rantai pangan lokal yang lebih tangguh. Dengan cara itu, gizi anak terpenuhi sekaligus menggerakkan ekonomi di tingkat wilayah. Makanan bergizi tidak hanya menjadi program distribusi, tetapi juga investasi sosial yang menumbuhkan kemandirian. Dengan catatan, angka yang hadir dalam proses pembangunan program tersebut disertai oleh pemantauan dan evaluasi yang ketat, serta menerima kritik dan masukan dari masyarakat.
Selain MBG, Cek Kesehatan Gratis (CKG) juga perlu jadi perhatian. Pemeriksaan kesehatan gratis tidak akan banyak berarti jika berhenti pada kegiatan satu kali. Ia perlu diikuti oleh sistem rujukan yang berfungsi, pencatatan medis yang berkelanjutan, dan edukasi yang membuat masyarakat memahami hasil pemeriksaannya. Deteksi dini baru menjadi bermakna ketika diiringi dengan tindak lanjut yang jelas dan dapat diakses. Dan di atas semua itu, masyarakat harus dilibatkan bukan sekadar sebagai penerima, tetapi sebagai mitra sejajar. Sudah waktunya kita berhenti menilai kesehatan masyarakat hanya dari tabel, grafik, dan warna-warna di dashboard kementerian. Di balik angka yang tampak stabil dan laporan yang rapi, sering kali tersembunyi kisah yang tidak tertangkap oleh data. Kesehatan seharusnya bukan hanya urusan metrik, tetapi ruang hidup yang nyata—tempat kebijakan bertemu dengan pengalaman, dan angka bertemu dengan cerita.
Kadang, satu kisah kecil justru lebih bermakna daripada seribu laporan capaian. Sebuah sekolah yang menolak program MBG karena dapurnya belum siap mungkin terlihat sebagai kegagalan di atas kertas, tetapi sebenarnya memberi pelajaran penting tentang kesiapan sistem dan kebutuhan infrastruktur yang sering diabaikan. Begitu pula dengan warga yang datang ke kegiatan CKG, tetapi pulang tanpa memahami hasilnya. Mereka bukan gagal sebagai penerima layanan, melainkan menjadi korban dari komunikasi kebijakan yang tidak menjangkau.
Kesehatan masyarakat, pada akhirnya, bukan tentang mengumpulkan angka, melainkan tentang menyambungkan kehidupan. Ketika pemerintah terlalu sibuk mengejar target, yang hilang adalah percakapan tentang apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat, bagaimana mereka memahami kesehatan, dan apa yang membuat mereka mau berubah. Dialog semacam itu jauh lebih berharga daripada sekadar laporan capaian tahunan.
Data tentu tetap penting. Tanpa data, kebijakan akan kehilangan arah. Tetapi angka tidak seharusnya menggantikan manusia; hal itu seharusnya hanya menjadi alat untuk memahami mereka. Jika program seperti MBG dan CKG ingin benar-benar menjadi tonggak transformasi kesehatan, maka tolok ukurnya harus bergeser: bukan lagi sekadar berapa banyak porsi yang dibagikan atau berapa banyak warga yang diperiksa, melainkan seberapa besar perubahan perilaku yang terjadi, seberapa kuat ketahanan pangan lokal tumbuh, dan seberapa dalam rasa percaya masyarakat terhadap sistem kesehatan.
Sebab di balik setiap grafik, ada kehidupan nyata—dan di sanalah seharusnya kebijakan berpijak. Kesehatan masyarakat yang sejati tidak lahir dari kejaran statistik, tetapi dari keberanian untuk mendengarkan manusia. Mungkin inilah saatnya kita menata ulang arah: menjadikan program kesehatan bukan lagi ajang menghitung, melainkan upaya memulihkan agar kebijakan benar-benar menyentuh kehidupan, bukan sekadar mengisi laporan.